a.burastabs, a.burastabs:link, a.burastabs:visited {display:block; width:102px; height:30px; background:#444444; border:1px solid #ebebeb; margin-top:2px; text-align:center; text-decoration:none; font-family:arial, sans-serif; font-size:12px; font-weight:bold;color:#FFFFFF; line-height:25px; overflow:hidden; float:left;} a.burastabs:hover {color:#FFFFFF; background:#666666;} #burasbar {width:auto; margin:0 auto;}

Kamis, 27 Oktober 2011

Politik Hukum Pemerintahan Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Politik Hukum di Indonesia mengalami perubahan terus menerus dari masa ke masa sesuai dengan kehendak pemerintahan suatu negara. Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama tentu saja berbeda dengan Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Baru.
Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama direpresentasikan oleh kehendak pemerintahan yang berkuasa saat itu, yakni untuk membawa hukum yang cenderung diarahkan pada pengawalan politik, di mana politik pada saat itu dianggap sebagai panglima. Artinya, politik dalam negara Indonesia ketika itu kedudukannya diletakkan di atas segala-galanya, melebihi ekonomi maupun hukum. Dengan demikian hukum pada saat itu tidak ubahnya hanya sekadar sebagai alat pembenar dari aktivitas politik negara. Diupayakan setiap aturan perundang arahnya mengacu pada kehendak politik penguasa Orde Lama. Misalnya adalah aturan perundangan yang dilahirkan paling tidak jangan sampai bertentangan dengan atau jika bisa diwajibkan mendukung MANIPOLUSDEK (Manivesto Politik Usaha-Usaha Demokrasi Ekonomi). Artinya, pada saat itu pemerintahan Orde Lama berkehendak mengarahkan hukum pada tugasnya mengawal revolusi yang pro Blok Timur dan Anti Blok Barat.
Politik Hukum semacam ini juga berlangsung pada masa Orde Baru, di mana pada masa ini telah terjadi perubahan Politik Hukum oleh pemerintahan negara yang ada waktu itu. Pemerintahan Orde Baru memiliki kecenderungan kuat ke arah Liberalisasi dan Kapitalisasi Sistem Ekonomi Indonesia. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) pada Tahun 70-an ketika Soeharto baru berkuasa. Aturan perundangan yang lahir setelahnya, kesemuanya mengacu pada arah sistem liberal kapital, bahkan sampai terjadi de-regulasi, de-birokrasi, de-nasionalisasi melalui paket-paket aturan dari pemerintah hingga menjelang akhir kejatuhan Orde Baru.
Paradoks-nya sistem ekonomi liberal kapital yang dikehendaki oleh Orde Baru ini adalah sitem ekonomi Liberal Kapital yang abstrak/semu, oleh sebab sistem ini terbentuk bukan karena melalui mekanisme ekonomi/pasar melainkan terbentuk karena campur tangan pemerintah sendiri dengan cara menerapkan sistem politik yang tidak demokratis dan sistem pemerintahan yang sentralistik, otoriter, dan represif.
Titik berat arah Politik Hukum yang diambil pemerintah saat itu adalah Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional ini dimaknai sebagai pembentukan TRILOGI yakni Stabilitas Nasional yang mantab, Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi, dan Pemerataan hasil-hasil Pembangunan. Oleh sebab itu maka konsekwensi logis dari Trilogi Pembangunan ini adalah Kekuasaan Orde Baru yang dengan efisien dan efektif digunakan mengendalikan kekuasaan politik di legislatif, kekuasaan birokrasi di eksekutif, maupun kekuasaan hukum di yudikatif. Meski secara hukum, campur tangan presiden ke dalam pengadilan tidak dibolehkan, tetapi itu tidak dapat menahan kekuatan politik Orde Baru untuk mencampuri urusan pengadilan. Maka, kekuatan politik nyata (real politics) bekerja diam-diam dan tetap menempatkan pengadilan di bawah kekuasaannya. Hal ini menunjukkan, independensi pengadilan hanya di atas kertas, tidak dalam realitas di masyarakat yang sarat intervensi politik. Wajah hukum tampak begitu "muram" dan terlebih ini ditegakkan dengan karakter aparat penegak hukum yang kejam, keras, dan tanpa mempertimbangkan hak-hak asasi manusia yang juga seharusnya dilindungi oleh hukum acara.
Orde Baru melalui aparat penegak hukumnya menggunakan Undang-Undang Subversi yang tidak memberi keleluasan bagi rakyat untuk bersuara. Di samping itu, badan semacam SS di zaman Nazi yang dikuasai oleh tentara seperti Kopkamtib sangat ditakuti. Kepanjangan tangan Kopkamtib menjulur sampai di tempat-tempat yang terpencil melalui Kodim, Koramil, dan Babinsa. Orang tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pandangannya, kecuali dalam rangka memuji dan mendukung Orde Baru serta seluruh aparatur birokrasi, institusi hukum, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Di zaman Orde Baru tampaknya semua serba teratur dan seolah-olah ada kedamaian, para politisi dan birokrat sesungguhnya hanyalah pion-pion belaka yang dikendalikan melalui ancaman terselubung. Dengan perkataan lain, para politisi seperti memiliki moral dan "fatsoen" politik. Semua yang dikerjakan Orde Baru disambut dengan gembira dan sukacita, seperti tidak ada reserve terhadap setiap sabda pemimpin yang selalu terseyum itu. Seperti dikatakan Stalin: "Those who cast the votes decide nothing. Those who count the votes decide everything", tetapi hukum alam memutuskan bahwa tidak ada yang abadi.
Dapat dikatakan bahwa Politik Hukum pemerintahan Orde Baru adalah bahwa hukum dikehendaki oleh pemerintah Orde Baru kearah pembangunan ekonomi semata. Hukum diciptakan untuk mengontrol kekuatan politik dan hukum diterbitkan untuk melindungi investasi baik modal asing maupun modal nasional.
Ada sedikit orang yang terpengaruh cara berpikir Barat mengatakan dengan alasan kemaslahatan boleh bergabung dengan pemerintahan yang menerapkan hukum bukan Islam. Padahal, kemaslahatan bukanlah sumber hukum Islam. Begitu pula, yang lebih mengetahui kemaslahatan bagi manusia adalah Pencipta Manusia bukan manusia itu sendiri. Jadi, dalam kacamata Islam kemaslahatan sejati justru terletak dalam pelaksanaan hukum syara. Kaidah ushul menyebutkan “Dimana ada hukum syara, di situlah ada kemaslahatan”.
Begitu juga dalih bahwa pemerintahan jahiliyyah pada jaman Nabi berbeda dengan pemerintahan masa sekarang tidak dapat dijadikan alasan kebolehan bergabung dengan pemerintahan yang menerapkan hukum kufur. Sebab, bila dilihat dengan jeli dan teliti inti keduanya itu sama: sama-sama tegak di atas bukan Islam dan menerapkan hukum-hukum kufur. Realitasnya, pemerintahan dimana pun saat ini dasarnya adalah kedaulatan ada di tangan rakyat (demokrasi). Artinya, rakyatlah yang menentukan hukum macam apa yang diterapkan di tengah masyarakat bukan Allah SWT. Anggota-anggota lembaga perwakilan rakyatlah (MPR/DPR) – termasuk anggota beragama Islam – yang membuat dasar negara, UUD, dan berbagai macam produk hukum atas dasar kehendak mereka sendiri. Sebab, lembaga itulah yang dianggap sebagai lembaga legislatif yang membuat semuanya itu. Dasar negara, UUD, dan hukum-hukum buatan logika dan hawa nafsu manusia itulah yang harus diterapkan oleh kepala negara, para menteri dan para pembantu lainnya. Jadi, hukum-hukum yang diterapkan tersebut bukanlah atas dasar ruhiy (atas dasar iman kepada Allah SWT). Selain itu, politik permenterian pun ditetapkan oleh negara secara kolektif. Suara seorang menteri muslim yang katakan saja akan memperjuangkan Islam tidak lebih dari satu suara yang turut membuat politik tersebut. Bahkan, dalam prakteknya, pada saat seseorang dipilih menjadi menteri politik pemerintah tentang kementriannya tersebut sudah tersedia dibuat oleh kepala negara dan koleganya. Menteri terpilih itu hanya memiliki dua pilihan: menjadi menteri atas dasar politik yang sudah tersedia atau menolaknya. Dia tidak berhak membuat politik kementriannya itu. Sementara itu setiap menteri bertanggung jawab atas seluruh keputusan dan tindakan yang dilakukan pemerintah. Sebab, di dalam undang-undang dinyatakan bahwa pertanggungjawaban kabinet bersifat kolektif. Jelaslah, dalam pemerintahan yang ada saat ini baik MPR/DPR, kepala negara, menteri, DPA, dan yang lainnya sama-sama terlibat dalam pembuatan, penerapan, dan pelanggengan perundangan dan hukum buatan logika dan hawa nafsu manusia. Inilah realitas pemerintahan dewasa ini.
Mensikapi persoalan demikian, Allah SWT dalam banyak ayat al-Qur’an menegaskan tentang cara memilih pemimpin, sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali-Imron ayat 28:
žw ÉÏ­Gtƒ tbqãZÏB÷sßJø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# ( `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ }§øŠn=sù šÆÏB «!$# Îû >äóÓx« HwÎ) br& (#qà)­Gs? óOßg÷ZÏB Zp9s)è? 3 ãNà2âÉjyÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3 n<Î)ur «!$# 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÈ
Artinya: Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali [192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu).
[192]  Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat dirumuskan dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimanakah Politik Hukum Pemerintah Orde Reformasi saat ini?”
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang bagaimana politik hukum pemerintahan orde reformasi saat ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Teori Hukum
Menurut Sofian Effendi dalam (Politik Hukum (Politics of the Legal System) Atau Kebijakan Hukum (Legal Policy) Yogyakarta, 7 Agustus 2006), dinyatakan bahwa, Pertama, salah satu tugas utama politik hukum nasional adalah selalu mengawal dan mengalirkan hukum-hukum yang sesuai dengan dan dalam rangka menegakkan konstitusi. Ke dua, bahwa pembangunan politik hukum nasional harus selalu dijaga agar tidak menyimpang dari aliran konstitusi dan sumber nilai yang mendasarinya.
Dari uraian tersebut jelas sekali bahwa hukum atau sistem legal nasional harus dipandang sebagai sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dengan sistem hukum. Pandangan ini cukup berbeda dari pandangan kebanyakan para pengasuh pendidikan hukum, yang memandang hukum dalam perspektif yang terbatas dan mencakup hanya lembanga penegak hukum serta hukum positif sebagai produk utamanya.
William M. Lawrence, mantan guru besar Univ. John Hopkins salah seorang pelopor dalam pengembangan pandangan holistik tentang hukum dan sistem hukum . Dalam tulisannya “American Law in the 20th Century”, Lawrence menunjukkan dengan jelas pandangan holistiknya tentang hukum (law) dan tentang sistem hukum (legal system). Katanya “… bagi banyak orang mungkin hukum hanya dimaknai sebagai berbagai lembaga penegak hukum seperti polisi, kejaksanaan, pengadilan, mahkamah agung, serta hukum positif yang dihasilkan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut ..” Tetapi, hukum jauh lebih luas daripada lembaga penegak hukum, karena kenyataannya hukum amat mempengaruhi kehidupan masyarakat Amerika moderen. Hukum telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Karena itu hukum tidak bisa lagi dilihat secara terisolasi dari masyarakat, tetapi telah merupakan bgian integral dari kehidupan masyarakat, budaya hukum adalah salah satu unsur dari budaya masyarakat. Sistem hukum tidak dapat dipisahkan lagi dari sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial suatu masyarakat. Pandangan seperti tersebut dapat kita tangkap dari uraian Prof. dalam bukunya Amerika Serikat adalah Kebijakan Publik (Public Policy). Menurut studi Kebijakan Publik, dalam melaksanakan fungsinya Pemerintah melakukan tindakan-tindakan kebijakan dalam bidang-bidang yang ditetapkan oleh konstitusi. Hukum (law) adalah salah satu instrument kebijakan yang digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Jadi, politik hukum sebagai terjemahan dari legal policy, mempunyai makna yang lebih sempit daripada politik hukum sebagai terjemahan dari politics of law atau politics of the legal system.
Studi kebijakan publik juga menganggap sistem kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh dua subsistem yaitu konfigurasi pemangku kepentingan (stakeholders) dan lingkungan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Kalau kita teropong dari kacamata sistem kebijakan publik tersebut, arah kebijakan hukum amat dipengaruhi oleh siapa pemangku kepentingan yang paling dominan pengaruhnya terhadap suatu kebijakan hukum, kalau lingkungan hukum, termasuk etika tidak terlalu dijadikan landasan pertimbangan dalam penyusunan hukum sebagai produk kebijakan publik.
Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam memandang hukum atau sistem hukum lebih mendekati pendekatan Lawrence dalam studinya tentang Hukum Amerika pada Abad 20. Lawrence menunjukkan bahwa Amerika mengalami pergeseran sistem hukum karena perubahan lingkungan politik yang dialami oleh Pemerintah Amerika. Pada masa-masa awal Pemerintahan Amerika pengaruh Bill of Rights dan Supreme Court amat dominan terhadap sistem hukum Amerika.
Tahap selanjutnya adalah pemerintahan Welfare State di bawah kepresidenan Roosevelt yang menghasilkan arah kebijakan hukum yang baru. Selanjutnya Amerika berkembang menjadi kekuatan ekonomi dan politik dunia, dan sejalan dengan perubahan tersebut, terjadi perubahan dalam sistem hukum.
Lawrence dalam memandang politik hukum, yaitu sistem hukum akan berkembang dan berubah sesuai dengan kemajuan bangsa dan negara, atau konstruksi politik negara, sebagaimana diuraikan menunjukkan bahwa salah satu unsur penting dari konstruksi politik yang harus menjiwai sistem hukum adalah falsafah dasar negara dan pandangan hidup bangsa.
Dalam pandangan Prof. Notonagoro, Pembukaan UUD 1945 adalah landasan dasar atau staatsfundamentalnorms bagi sistem hukum Indonesia, Bung Karno sebagai pencipta Pancasila bahkan menamakan dasar negara tersebut sebagai weltanschaaung bagi bangsa Indonesia. Dari sudut pandangan ini, penegakan konstitusi hanya mungkin terjadi kalau amandemen untuk menyempurnakan konstitusi dilakukan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan staatsfundamentalnorms tersebut.
Dalam upaya menyesuaikan konstitusinya dengan perkembangan konfigurasi politik, kita menyaksikan adanya perbedaan yang nyata antara Amerika Serikat. Amerika Serikat menyesuaikan konstitusi dengan perkembangan konfigurasi politik melakukan pendekatan yang amat hati-hati dan dengan tetap mempertahanan bangunan asli konstitusinya. Penyempurnaan dilakukan dengan tetap mempertahankan konstitusi yang asli dan melakukan amandemen secara bertahap melalui prosedur amandemen yang cukup rumit, diusulkan oleh Congress dan harus disetujui oleh 2/3 negara bagian. Karena itu selama 230 tahun baru diadakan amandemen sebanyak 27 kali. Dengan cara seperti tersebut, dapat dipertahankan adanya pemerintahan negara yang efektif dan stabilitas politik tetap terjaga.
Seperti yang dicantumkan dalam beberapa literatur, konstitusi adalah sebuah kesepakatan umum atau konsensus yang berhasil diwujudkan oleh mayoritas rakyat mengenai sebuah bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Menurut Jimly Asshiddiqie (Kompas, 19 Mei 2006), Ketua Mahkamah Konstitusi, “Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara, dan pada gilirannya adalah perang saudara atau revolusi.” Kesepakatan untuk tetap berpegang pada konstitusi sebagai hukum dasar seharusnya tetap menjadi acuan bagi kehidupan bernegara. Aturan yang lebih rendah seharusnya juga mengacu pada hukum dasar.
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Ia muncul tidak tiba-tiba, namun dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Keanekaragamaan tujuan dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy).
Menurut Hikmahanto Juwana (dalam Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia, Makalah Kuliah Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi, MPKP Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006) dikatakan bahwa ”pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum sangat penting, paling penting untuk dua hal:
Pertama sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal.
Dua hal ini penting karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan “jembatan” antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Mengingat harus ada konsitensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan.
Politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi:
Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Politik hukum dengan dimensi alasan dasar seperti ini menurut Hikmahanto sebagai “kebijakan dasar” atau dalam bahasa inggris disebut “basic policy”.
Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, yang kemudian disebut sebagai “Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam bahasa inggris disebut sebagai “enactment policy”. Melalui “kebijakan Pemberlakuan inilah dapat dilakukan pengidentifikasian beragam kebijakan pemberlakuan Undang-Undang di Indonesia.
Untuk masa kini maupun mendatang. Hukum menekankan pada penerapan kekuatan kolektif untuk melaksanakan ethical consensus yang telah disepakati.
Joseph E. Stiglitz, ekonom peraih Nobel menyatakan, bahwa Pembangunan adalah “Transformation of Society” atau sebuah bentuk transformasi masyarakat dari kehidupan tradisional dengan peradaban produksi menggunakan alat-alat tradisional menjadi masyarakat modern melalui penggunaan alat-alat produksi modern serta pola kehidupan ekonomi yang lebih baik.
Stiglitz menjelaskan bahwa pembangunan nasional harus berkorelasi dengan pengurangan jumlah masyarakat miskin dalam perekonomian. Negara harus menjamin kebutuhan dasar warga Negara seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan, dan kebutuhan dasar lainnya. Almarhum Mubaryanto, Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) yang concern terhadap pengembangan kajian ekonomi kerakyatan melalui konsepsi Ekonomi Pancasilanya menjelaskan, bahwa Pembangunan Nasional merupakan kebijakan yang pro-rakyat, untuk mengatasi seluruh kesulitan ekonomi yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Orde Baru dan Bencana Politik Hukum Ekonomi Mengingat masa kelam Orde Baru yang sering disebut ”Orde Pembangunan”, membuat pedih. Politik Hukum Ekonomi yang dibuat justru membuat rapuh perekonomian dalam jangka panjang dan menimbulkan permasalahan hegemoni potensi ekonomi dan akses oleh segelintir orang di lingkaran kekuasaan yang membuat kebijakan. Timbul pertanyaan mengganjal, apakah pembangunan akan selalu membawa destabilisasi. Sebuah proses yang mengakibatkan disparitas sosial-ekonomi membesar akibat laju modernisasi dan industrialisasi, serta menguntungkan sebagian kecil masyarakat. Timbul pula pertanyaan yang menggelisahkan, apakah sebuah ketakterhindaran (inevitability) historis, pembangunan selalu mengorbankan kebebasan manusia. Pengalaman orde baru ini, merupakan deviasi yang luar biasa dari tesis Stiglitz dan Sen.
Moral Hazard pembuat kebijakan (Policy Maker) merupakan variabel utama yang membuat arah pelaksanaan Pembangunan Nasional jauh dari penyediaan akseptabilitas bagi rakyat. Pembangunan, seharusnya merangsang masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat. Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ”kesalahan” besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah. Dengan demikian, masyarakat telah ”menyerahkan” kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ”melumpuhkan” diri sendiri.
Seperti yang disampaikan oleh Hikmahanto Juwana Politik Hukum Ekonomi yang dibuat harus mencerminkan kebutuhan mayoritas rakyat Indonesia bukan UU yang memiliki sensitifitas politik yang tinggi yang bertentangan dengan kebutuhan rakyat sesungguhnya.

B. Politik Hukum Pemerintah Orde Reformasi
Sejak tahun 1998, orde politik yang disebut reformasi bertolak belakang dengan watak orde sebelumnya. Jika sebelumnya otoriter dan tertutup, orde 1998 mengedepankan akuntabilitas publik dan keterbukaan (transparancy). Perubahan besar itu amat berpengaruh terhadap penegakan hukum atau cara bangsa ini berhukum.
Ibarat kotak yang tertutup rapat lalu dibuka, isinya berhamburan seraya mengibarkan panji-panji demokrasi rakyat, berani merangsek maju, mendobrak pintu kekuasaan yang sebelumnya angker, apakah itu pemerintah, kejaksaan, pengadilan, atau lainnya. Demokratisasi dalam hukum melahirkan lembaga-lembaga independen, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, dan banyak komisi lainnya. Kekuasaan yang semula terpusat mulai didelegasikan ke daerah lewat legislasi otonomi daerah yang menimbulkan banyak masalah.
Kita tidak bisa melewatkan realitas perubahan politik ini karena berdampak pada pekerjaan hukum. Kini pekerjaan hukum harus dapat berdiri sendiri secara otentik karena tidak ada lagi kekuasaan dan kekuatan hegemonial yang mendukungnya. Hakim, jaksa legislator, menjadi bulan-bulanan rakyat atas nama demokrasi, akuntabilitas, dan transparansi. Siapa saja, kapan saja, dapat tampil di hadapan Mahkamah Konstitusi untuk menggugat produk-produk legislatif.
Dalam kenyataannya, banyak produk yang dimatikan. Kadang kesalahan dilemparkan ke lembaga legislatif sebagai kurang memiliki kemampuan membuat undang-undang. Kini segalanya terbuka untuk dilihat dan digugat. Kejaksaan dan pengadilan tidak "tiba-tiba" bekerja buruk, tetapi sudah puluhan tahun. Tidak mudah menyangkal kesimpulan Sebastian Pompe (2005) tentang prestasi pengadilan dan Mahkamah Agung. Kemerosotan itu dirumuskan, "courage turn to to cowardice, capability to incompetence, integrity to structural corruption, and respect to contempt". Karya Pompe tidak akan beredar di Indonesia andai tidak ada perubahan besar dalam iklim politik di negeri ini.
Orde politik yang prodemokrasi, civil society, akuntabilitas, dan transparansi kekuasaan publik melahirkan cara berhukum yang berbeda daripada masa sebelumnya. Keadaan atau atmosfer yang demikian itu menjadikan para pelaku kekuasaan publik duduk di kursi panas.
Selain itu, kekuasaan hukum tidak dirancang untuk menghadapi perubahan besar dalam orde politik, sebagaimana diuraikan di muka Pengadilan Tipikor dan HAM, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Juga, dulu tidak pernah terjadi anggota DPRD, mantan menteri, gubernur, bupati, dan wali kota diadili.
Indonesia saat ini harus meniti jalan yang panjang untuk mewujudkan keinginan dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia. Pemerintahan yang akan datang nampaknya, sebagaimana pemerintah sekarang, akan menghadapi setumpuk pekerjaan rumah untuk mengatasi berbagai persoalan rumit bangsa yang terkait dengan hukum seperti pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan ekonomi, masalah narkoba, gangguan keamanan seperti gerakan separatis dan tata kelola negara.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut adalah dengan melakukan perubahan-perubahan di setiap aspek kehidupan bernegara, terutama perubahan dan pembaruan terhadap aspek hukum atau yang dikenal dengan reformasi hukum. Program reformasi hukum tidak bisa tidak harus digulirkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat.
Perwujudan reformasi hukum ini dapat dilakukan melalui berbagai upaya seperti penyempurnaan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan dan pengembangan budaya hukum, pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. Selain itu, keberhasilan melaksanakan reformasi hukum tentunya juga harus ditunjang oleh kemauan politik, sikap jujur dan transparan dari pemerintahan yang akan datang.
Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia adalah bukan pada hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum itu sendiri. Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis seperti yang dikatakan oleh Roscoe Pound berikut ini:
“The law, in its procedural as well substantive aspects, is essentially made and administered by persons, whose views and interpretations are buffeted by the winds of change through the year, so that it has become a “truism that the quality of justice depends more on the quality of the (persons) who administer the law than on the content of law they administer”.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat) serta judicial corruption yang sampai dengan saat ini masih sulit diberantas.
Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan good governance.
Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Kita perlu melihat "potret buram" hukum dan penegakan hukum dalam konteks lebih besar sehingga mampu menangkap maknanya secara utuh. Kita coba pahami carut-marut hukum kita. Bagaimanapun, saat-saat berat ini harus dihadapi. Terpenting, kita tidak kehilangan kompas untuk menjadikan negara hukum ini sebuah rumah yang mensejahterakan dan membahagiakan seluruh rakyatnya.
Benny K Harman, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I) berkata: “Menjadi pertanyaan ke mana arah pembangunan hukum pasca-Orde Baru. Pada era Orde Baru, politik hukum diabdikan untuk terciptanya stabilitas politik bagi pertumbuhan ekonomi. ”Mungkin kita tak suka dengan itu, tetapi arah politik hukum itu lebih jelas,” seolah menjawab pertanyaan tokoh DPR di atas, Denny Indrayana, ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berkata: “Saya juga bingung terhadap politik hukum Indonesia pada masa transisi. Politik hukum di Indonesia tidak terkontrol”.
Menurut Denny Indrayana, Doktor Ilmu Hukum University of Melbourne, Australia, ahli Hukum Tata Negara UGM menyatakan “politik hukum seharusnya mengacu pada UUD 1945. Faktanya, ada beberapa undang-undang yang diperintahkan UUD 1945 belum dikerjakan, salah satunya adalah UU Kementerian Negara. itu justru menangkap kesan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah terjebak pada proyek atau kepentingan jangka pendek. Kadang-kadang hanya copy paste dari satu perda ke perda yang lain”.
Pembuatan perda-perda diabdikan untuk kepentingan politik jangka pendek, yaitu pemilihan kepala daerah. Menjelang pilkada, akan muncul perda yang seakan-akan menunjukkan komitmen bupati/wali kota untuk menegakkan moralitas. Tetapi, sebenarnya itu untuk mencari legitimasi agar terpilih kembali. Namun, jika mengacu pada pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (2003), “awal masa demokratisasi dan liberalisasi pers akan meningkatkan risiko konflik nasionalis atau SARA. Hal itu terjadi karena dalam ruang demokrasi yang masih muda, persaingan kelompok rakyat (popular-rivalries) dan propaganda elite (elite persuasion) bertarung dalam panggung publik. Dalam demokrasi yang masih setengah-setengah, elite sering memanfaatkan kedudukan mereka dalam pemerintahan, perekonomian, atau media massa untuk mengorbankan nasionalisme dan menentukan wacana umum. Itulah yang sedang terjadi di Indonesia dengan munculnya aturan di daerah atau di Jakarta yang membangkitkan sentimen golongan. Ada kelompok rakyat yang bersaing dan ada pula para demagog yang melakukan propaganda.
Dengan berbagai paparan mengenai Politik Hukum masa Orde Reformasi di atas, maka dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Politik Hukum pemerintah Orde Reformasi adalah lebih banyak diarahkan oleh kehendak penguasa Orde Reformasi ke arah dua hal, yang pertama adalah menciptakan hukum dalam rangka untuk mewujudkan cita-cita reformasi yakni pemerintahan sipil untuk civil society, military back to camp mundur dari panggung politik, demokrasi dan transparansi, anti korupsi dan sebagainya; yang ke dua adalah menciptakan hukum untuk memenuhi keinginan Lembaga-Lembaga Internasional seperti IMF, World Bank, UNDP, G-8, CGI dalam kerangka pemulihan ekonomi dan keamanan nasional seperti Perimbangan keuangan antara Pemerintahan Pusal dan Pemerintah Daerah Otonom, pencabutan subsidi, Penetapan Harga Minyak Internasioanl, Anti Terorisme, dan sebagainya.
Ironi sekaligus paradoks yang terjadi pada masa Orde Reformasi dalam kaitan Politik Hukum Indonesia adalah bahwa Undang-Undang 1945 sebagai konstitusi dasar telah diamandemen hingga empat kali. Padahal konstitusi merupakan acuan tunggal dalam setiap politik hokum nasional Negara manapun di dunia ini, tidak terkecuali Indonesia.
Sebaliknya Indonesia menempuh prosedur perubahan besar-besaran, kalau tidak mau dikatakan pergantian UUD, karena dari 199 ketentuan yang terdapat pada UUD baru, hanya 27 yang berasal dari UUD 1945 asli. Bentuk dan susunan pemerintahan negara R.I. mengalami perubahan mendasar, dan menghasilan pemerintahan negara yang tidak stabil dan tidak efektif, persis seperti ramalan para constitutional framers hampir enam puluh tahun yang lalu. Peringatan agar Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila harus menjadi landasan dalam pembangunan politik hukum dan sebagai landasan dasar dalam penyusunan hukum ternyata telah diabaikan oleh MPR. Hukum dasar atau grondwet yang mereka hasilkan dalam kenyataannya telah menyimpang dari falsafah dasarnya sebagaima tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. perkembangan konfigurasi politik bangsa. Ternyata perubahan dinamika politik yang cepat karena didorong oleh Gerakan Reformasi pada 1998 telah mengobarkan nafsu untuk merombak UUD secara semena-mena.
Pada tataran yang lebih rendah kita juga melihat terjadinya kekacauan dalam sistem hukum yang dihasilkan oleh UUD hasil amandemen yang semena-mena. Karena perimbangan kekuasaan yang berubah dalam sistem politik, dan karenanya juga dalam sistem hukum, UU yang dihasilkan banyak yang tidak dilandasi oleh ketentuan dalam UUD dan tidak lagi berlandaskan pada falsafah dasar yang seharusnya menjiwai semua produk dan perilaku sistem hukum Indonesia. Jadi, cita-cita untuk “Membangun Politik Hukum (untuk) Menegakkan Konstitusi” nampaknya masih harus diperjuangkan bukan saja oleh para ahli hukum, tetapi juga oleh segenap bangsa Indonesia.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada era Orde Baru, politik hukum diabdikan untuk terciptanya stabilitas politik bagi pertumbuhan ekonomi namun pada masa Orde Reformasi politik hukum diarahkan untuk mewujudkan reformasi dan menuruti kehendak lembaga internasional seperti terlihat pada banyak Undang-Undang yang pada intinya disiapkan bukan untuk meregulasi rakyat, melainkan mengatur perilaku aparatur negara untuk bisa memberikan pelayanan yang baik kepada rakyat. Di lain pihak terdapat protes sehubungan dengan berbagai Undang-Undang yang dianggap mengurangi hak warga negara, seperti menyuarakan aspirasi protes pada UU Rahasia Negara, Undang-Undang Tenaga Kerja, Rencana Perubahan UU Pokok Agraria 1960, dan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi dan UU Anti Terorisme.
Seperti yang dicantumkan dalam beberapa literatur, konstitusi adalah sebuah kesepakatan umum atau konsensus yang berhasil diwujudkan oleh mayoritas rakyat mengenai sebuah bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Maka jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara, dan sebaliknya jika kesepakatan untuk tetap berpegang pada konstitusi sebagai hukum dasar dan tetap menjadi acuan bagi kehidupan bernegara, maka jelaslah bahwa politik hukum pada era Reformasi ini akan memunculkan elemen kritis di kalangan masyarakat sipil, pemerintahan yang efektif dan kuat, serta lembaga pengadilan yang mampu menguji peraturan di dalam bingkai UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan.








Daftar Pustaka

Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, Makalah
Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia, Vol.17, No.1, 1-12.

Lembaga Informasi Nasional, “ Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003”, 2003, Jakarta.

Mubyarto dan Daniel W. Bromley, 2002. Ilmu Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia (A Development Manifesto for Indonesia).

Melalui Undang-undang inilah kita dapat melihat sejauh mana keberpihakan pemerintah sebagai policy maker yang mempunyai otoritas membuat UU terhadap ekonomi rakyat.

Todaro, M.P., 1997. Economic Development. Sixth Edition. Massachusetts : Addison Wesley Longman. Joseph E. Stiglitz, “Economic Of The Public Sector”, 3th edition,                1999, New York

Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus