a.burastabs, a.burastabs:link, a.burastabs:visited {display:block; width:102px; height:30px; background:#444444; border:1px solid #ebebeb; margin-top:2px; text-align:center; text-decoration:none; font-family:arial, sans-serif; font-size:12px; font-weight:bold;color:#FFFFFF; line-height:25px; overflow:hidden; float:left;} a.burastabs:hover {color:#FFFFFF; background:#666666;} #burasbar {width:auto; margin:0 auto;}

Jumat, 21 Oktober 2011

pendekatan dan prosedur BK


PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM BIMBINGAN KONSELING
Filsafat dasar merujuk pada pandangan tentang manusia. Setiap pendekatan memiliki pandangan yang berbeda tentang sifat manusia, pribadi manusia, kondisi manusia dll. Pandangan tentang manusia ini akan melahirkan konsep dan landasan filosofis mengenai bimbingan dan konseling. Berikut pemaparannya.
1.      PENDEKATAN PSIKOANALITIK:
Manusia pada dasarnya ditentukan oleh energi psikis dan pengalaman-pengalaman dini. Motif-motif dan konflik-konflik tak sadar adalah sentral dalam tingkah laku sekarang. Kekuatan-kekuatan irrasional kuat; orang didorong oleh dorongan-dorongan seksual dan agresif. Perkembangan dini penting karena masalah-masalah kepribadian berakar pada konflik-konflik masa kanak-kanak yang direpresi.
2.      PENDEKATAN EKSISTENSIAL-HUMANISTIK
Berfokus pada sifat dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas untuk menentukkan nasib sendiri, kebebasan dan tanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur dasar, pencarian makna yang unik di dalam dunia yang tak bermakna, berada sendirian dan berada dalam hubungan dengan orang lain, keterhinggaan dan kematian, dan kecenderungan untuk mengaktualkan diri,
3.      PENDEKATAN CLIENT-CENTERED
Memandang manusia secara positif; manusia memiliki suatu kecenderungan ke arah menjadi berfungsi penuh. Dalam konteks hubungan konseling, konseli mengalami perasaan-perasaan yang sebelumnya diingkari. Konseli mengaktualkan potensi dan bergerak ke arah meningkatkan kesadaran, spontanitas, kepercayaan kepada diri, dan keterarahan dalam.
4.      PENDEKATAN GESTALT
Manusia terdorong ke arah keseluruhan dan intregasi pemikiran perasaan serta tingkah laku. Pandangannya anti deterministik dalam arti individu dipandang memiliki kesanggupan untuk menyadari bagaimana pengaruh masa lampau berkaitan dengan kesulitan-kesulitan sekarang.



5.      PENDEKATAN ANALISIS TRANSAKSIONAL
Manusia dipandang memiliki kemampuan memilih. Apa yang sebelumnya ditetapkan, bisa ditetapkan ulang. Meskipun manusia bisa menjadi korban dari putusan-putusan dini dan skenario kehidupan, aspek-aspek yang mengalihkan diri bisa diubah dengan kesadaran.
6.      PENDEKATAN TINGKAH LAKU
Manusia dibentuk dan dikondisikan oleh pengondisian sosial budaya. Pandangannya deterministik, dalam arti tingkah laku, dipandang sebagai hasil belajar dan pengondisian.
7.      PENDEKATAN RASIONAL EMOTIF
Manusia dilahirkan dengan potensi untuk berpikir rasional, tetapi juga dengan kecenderungan-kecenderungan ke arah berpikir curang. Mereka cenderung untuk menjadi korban dari keyakinan-keyakinan yang irrasional dan untuk mereindoktrinasi dengan keyakian-keyakinan yang irrasional itu. Tetapi berorientasi kognitif-tingkah laku-tindakan, dan menekankan berpikir, menilai, menganalisis, melakukan dan memutuskan ulang. Modelnya adalah didaktif direktif, Terapi dilihat sebagai proses reduksi.
8.      PENDEKATAN REALITAS
Manusia membutuhkan identitas dan mampu mengembangkan "identitas kegagalan". Pendekatan realitas berlandaskan motivasi pertumbuhan dan antideterministik.
Dalam buku lain juga dijelaskan bahwa pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam Bimbingan dan Konseling adalah sebagai berikut:
1.      Pendekatan konseling Non-Deriktif
Ciri-ciri pendekatan tersebut adalah: (a). hubungan non-direktif menepatkan klien pada kedudukan sentral, kleinlah yang aktif untuk mengungkapkan dan mencari pemecahan masalahnya sendiri, (b). konselor berperan sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri.
2.      Pendekatan konseling Rasional-Emitif
Tokoh dari pendekatan tersebut adalah Albert Ellis seorang ahli Clinical Psychology (psikologi klinik).
Ciri-ciri dari konseling Rasional-Emitif adalah: (a). konselor berperan lebih aktif dibandingkan dengan klien, (b). harus diciptakan hubungan baik antara konselor dengan klien, (c). dengan hubungan baik itu dapat dipergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah pola pikir dari yang tidak rasional menjadi rasional, (d). konselor tidak terlalu banyak menelusuri kehidupan klien dimasa lampau, (e). diagnosis yang dilakukan konselor adalah untuk membuka ketidak logisan pola pikir klien.
3.      Pendekatan Konseling Analisis Transaksional
Tokoh yang pertaa kali menerapkan pendekatan tersebut adalah Eric Berne. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam analisis transaksional adalah upaya untuk merangsang rasa tanggung jawab pribadi atas tingkah lakunya sendiri, pemikiran yanglogis, rasional, tujuan-tujuan yang realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam hubungan dengan orang lain.
4.      Pendekatan Konseling Klinikal
Tokoh utama yang menerapkan pendekatan ini adalah Donald G Paterson pada tahun 1920. Secara garis besar dapat dirumuskan bahwa: (1). Klien pada umumnya rasional, yang harus membuat bermacam-macam keputusan untuk dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembentukan kepribadiannya, (2). Sebagai akibatnya klien membutuhkan untuk menggunakan pengetahuan dan pengalaman informasi teknis yang dapat diberikan oleh seorang kenselor yang memiliki kecakapan dan telah mendapatkan latihan dalam bidang tersebut supaya dia membuat suatu keputusan yang memungkinkannya untuk mencapai perkembangan dan kebahagiaan yang optimal sebagai anggota masyarakat.
PROSEDUR BIMBINGAN KONSELING
Sebagai suatu profesi, wujud kebermaknaan bimbingan dan konseling banyak ditentukan oleh kualitas layanan bimbingan konseling yang dilaksanakan oleh guru pembimbing dan kesempatan yang luas bagi para guru Pembimbing untuk mengembangkan kreativitasnya dalam layanan bimbingan konseling tersebut. Brammer (1984: 4) dalam temuan penelitiannya menunjukkan bahwa ada dua komponen yang perlu diperhatikan untuk menjalankan tugas bimbingan dan konseling dengan baik. Kedua komponen itu adalah: (1) kepribadian petugas bimbingan; dan (2) keterampilan teknis.

1. Syarat Pribadi Guru Pembimbing
Petugas bimbingan sebagai pribadi harus mampu menampilkan jatidirinya secara utuh, tepat, dan berarti serta membangun hubungan antarpribadi (interpersonal) yang unik dan harmonis, dinamis, persuasif dan kreatif sehingga menjadi motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Corey (1986: 358-361), menyatakan “alat yang paling penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang petugas bimbingan adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (ourself as a person). Pada bagian lain dari tulisannya itu, ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa “…para konselor hendaknya mengalami sebagai klien pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri bisa menaikkan tingkat kesadaran (self-awareness).
Apabila petugas bimbingan hanya menjadi reflektor perasaan, pengamat netral yang membuat penafsiran atau sebagai pribadi yang bersembunyi dibalik keamanan dari peran yang dimainkannya, ia tidak mungkin mengharapkan klien untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Ia harus bertindak dan sekaligus sebagai model bagi kliennya. Ia menampilkan dirinya apa adanya, terbuka, dan terlibat dalam penyingkapan diri yang layak dan fasilitatif sehingga dapat mendorong klien menyatukan sifat-sifat yang sama ke dalam dirinya.
Lebih jauh Corey (1991) menyatakan kalau petugas bimbingan hanya bertumpu pada keterampilan profesional dan meninggalkan diri pribadinya, maka kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling akan menjadi mandul, sedangkan Tyler (1969) menekankan bahwa kompetensi intelektual, stabilitas emosi, sikap menerima dan mengerti merupakan ciri-ciri yang harus ada pada petugas bimbingan. George & Christiani dalam Yusuf (1995: 108), mengemukakan ciri-ciri petugas bimbingan yang efektif, yakni: (1) membuka diri dan menerima pengalaman sendiri; (2) menyadari akan nilai dan pendapatnya sendiri; (3) dapat membina hubungan yang hangat dan mendalam dengan orang lain; (4) bisa membiarkan diri sendiri dilihat orang lain sebagaimana adanya; (5) menerima tanggung jawab pribadi dari perilakunya sendiri; dan (6) mengembangkan tingkat aspirasi yang realistik.
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang petugas bimbingan dalam interrelasinya dengan siswa haruslah “menghadirkan” dirinya sebagai pribadi dan menyenangi pekerjaannya. Ia berfungsi sebagai instrumen katalisator dan agen-agen pembangkit kesadaran serta pertumbuhan klien.
2. Petugas Bimbingan Sebagai Tenaga Profesional
Bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi merupakan pelayanan sosial yang unik, suatu pelayanan yang membutuhkan tenaga profesional yang mendapatkan pendidikan khusus dalam bidang bimbingan dan konseling. Profesi ini lebih mengacu pada pengabdian pada masyarakat demi perkembangan individu daripada mendapatkan keuntungan finansial atau kepentingan pribadi. Layanan yang bermutu dan menjangkau semua siswa di sekolah akan “menaikkan” kepedulian masyarakat sekolah akan bimbingan dan konseling serta mendorong berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam mengembangkan bimbingan dan konseling di sekolah.
Petugas bimbingan profesional mengetahui peran dan tugas yang akan dilaksanakannya, kapan harus melaksanakan, kapan harus menghentikan serta mampu dan terampil melaksanakan tugas secara profesional. Keberadaannya di sekolah bukanlah semata-mata berhubungan dengan siswa, tetapi terkait dengan tenaga kependidikan yang lain. Petugas bimbingan sekolah hendaklah memenuhi tanggung jawabnya terhadap: (1) siswa; (2) orang tua; (3) guru; (4) kepala sekolah; (5) orang lain dalam masyarakat; dan (6) profesi.
Munro et al (1983: 48-60), mengelompokkan berbagai keterampilan yang diperlukan dalam konseling, yaitu sebagai berikut.
a. Keterampilan memulai konseling: (1) dengan ajakan; (2) pertanyaan terbuka; (3) dengan mengikuti pokok pembicaraan; (4) dengan dorongan minimal; (5) mendengarkan dengan tepat dan aktif; (6) dengan ajakan untuk memikirkan sesuatu yang lain; (7) dengan mengajak dan menghadapkan pada situasi yang bertentangan, dan (8) dengan suasana diam.
b. Keterampilan mengembangkan hubungan konseling; terdiri dari:
(1) keterampilan memberikan dorongan, seperti: (a) keterampilan mengenal perasaan; (b) mengungkapkan perasaan diri sendiri; (c) refleksi; dan (d) memahami dengan cermat;
(2) keterampilan memberikan pengarahan, meliputi: (a) memberikan informasi; (b) memberikan nasihat; (c) bertanya secara langsung; (d) mempengaruhi dan mengajak; (e) menggunakan contoh pribadi; (f) memberi penafsiran; (g) mengkonfrontasikan; (h) mengupas masalah; dan (i) menyimpulkan.
Sedangkan Wayne W. Dyer et al (1977: 26-33) mengemukakan 14 kompetensi petugas bimbingan dalam melaksanakan konseling mulai dari pertemuan awal/membuka konseling sampai dengan menutup konseling. Keempat belas kompetensi dimaksud, adalah: (1) kemampuan bertanya, menjelajah, mendorong pembicaraan, mengungkapkan materi yang berkaitan dengan masalah; (2) pemberian informasi; (3) perilaku non verbal; (4) kesiapan mencapai tujuan; (5) penegasan, penekanan, dan menggarisbawahi; (6) meyakinkan, mendorog dan memberikan semangat; (7) membentuk hubungan; (8) pengujian hipotesis; (9) menyatakan kembali; (10) mengidentifikasi, menamai, menjelaskan dan memantulkan perasaan; (11) konfrontasi; (12) menginterpretasikan; (13) menyimpulkan atau merangkum materi yang penting; dan (14) mengakhiri konseling.
ACES (Association for Counselor Education and Supervision) merumuskan tentang “Standard for the Preparation of Counselors and Others Personnel Services Specialists” yang terdiri dari lima komponen, yakni: “(1) Introduction; (2) Objectives; (3) Curriculum; (4) Responsibility Concerning Students in the program; (5) Support for the Counselor Education Program, Administratives Relations, and Institutional Resources. Dalam bagian kurikulum dikemukakan: karakteristik umum program, pengalaman tersupervisi dan program pengembangan. Program Inti, terdiri dari hal-hal berikut.
1.      Pertumbuhan dan perkembangan manusia, yang menyediakan pemahaman yang luas tentang hakikat dan kebutuhan individu dalam semua tingkatan perkembangan, dengan menggunakan pendekatan psikologis, sosiologis, dan fisiologis. Juga termasuk ke dalam aspek ini: tingkah laku manusia normal dan abnormal, teori kepribadian, dan teori belajar.
2.      Dasar-dasar sosial dan kultural.
3.      Relasi hubungan yang bersifat membantu (helping relationship), yang mencakup: dasar filosofis relasi hubungan; teori konseling, praktek terbimbing dan aplikasi; teori dan praktek konsultasi; dan perkembangan konselor-klien (self-awareness dan self-understanding).
4.      Kelompok, yang mencakup: teori dan tipe kelompok; deskripsi praktek kelompok; metode, dinamika dan keterampilan mempermudah serta praktek terbimbing.
5.      Gaya hidup dan pengembangan karir, yang mencakup: teori pemilihan karir; hubungan pemilihan karir dan kehidupan; informasi pendidikan dan jabatan; pendekatan dalam proses pemilihan karir serta teknik-teknik eksplorasi pengembangan karir.
6.      Penilikan individual, termasuk di dalam kelompok ini: cara pengumpulan dan interpretasi data, tes individu dan kelompok; pendekatan-pendekatan studi kasus; dan studi perbedaan individu.
7.      Penelitian dan evaluasi, yang mencakup: statistik, rancangan penelitian, pengembangan penelitian dan usul penelitian.
8.      Orientasi profesional, mencakup: tujuan organisasi profesi; kode etik, legalitas, standar persiapan petugas, sertifikasi, lisensi, dan peranan konselor serta petugas layanan spesialis yang lain (Tolbert, 1982: 368-369).
Selanjutnya untuk pemantapan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan diberikan pula pengalaman praktek dalam situasi yang sebenarnya di bawah bimbingan petugas bimbingan yang berpengalaman. Pengalaman tersupervisi ini dapat berupa observasi, bekerja langsung dengan individu dan kelompok dalam latar (setting) yang cocok, atau pengalaman tersupervisi melalui laboratorium, praktikum dan internship (magang).
Di samping persiapan pendidikan pre-service yang matang bagi petugas bimbingan profesional, keterandalan layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan wujud lain dari kemampuan profesional petugas bimbingan. Dalam kaitan itu McCully (1968: 19-25) menyatakan bahwa ada enam tugas perkembangan yang perlu mendapat perhatian yang memungkinkan terwujudnya layanan profesional dalam bimbingan dan konseling. Keenam tugas tersebut, adalah sebagai berikut.
1.      Pelayanan sosial yang unik, yang ditampilkan oleh petugas-petugas bimbingan harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga secara jelas memperlihatkan perbedaan yang nyata dari pelayanan ahli atau petugas lain. Ini berarti bahwa dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah, pelayanan yang ditawarkan dan dilakukan oleh petugas bimbingan jelas bedanya dari tugas atau pelayanan yang dilakukan oleh petugas lain, yang bekerja secara amatir.
2.      Standar seleksi dan latihan bagi calon petugas bimbingan dikembangkan dan diawasi profesi. Standar ini harus mendapat persetujuan dari kelompok profesional maupun lembaga yang mempersiapkan tenaga bimbingan.
3.      Agar standar seleksi dan latihan berguna serta menemui sasarannya, perlu dirumuskan prosedur akreditasi terhadap lembaga penyiapan petugas bimbingan.
4.      Untuk meyakinkan pemakai jasa konseling, petugas bimbingan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan petugas bimbingan itu hendaklah memiliki kompetensi minimum, sebagai petugas bimbingan yang profesional. Sehubungan dengan itu perlu pula diselenggarakan sertifikasi yang benar-benar sahih terhadap kompetensi minimum yang diharapkan.
5.      Petugas bimbingan yang sudah memiliki sertifikasi sebagai petugas bimbingan profesional harus secara aktif memperjuangkan pengembangan dan penyelenggaraan kebebasan profesional yang memungkinkan melaksanakan pelayanan khusus yang menjadi kewajibannya.
6.      Kelompok petugas bimbingan harus memiliki dan menerapkan kode etik yang mengatur dan mengontrol tingkah laku para anggotanya.
Sedangkan Belkin (1981: 188-189) mengemukakan lima unsur yang perlu diikuti oleh petugas bimbingan sekolah kalau ia mau diakui keterandalan layanan yang diberikannya. Kelima unsur itu adalah sebagai berikut.
1.      Petugas bimbingan sekolah harus memulai karirnya sejak hari-hari pertama menampilkan dirinya sebagai petugas bimbingan sekolah dengan program kerja yang jelas dan siap melaksanakan tugas tersebut.
2.      Petugas bimbingan harus selalu mempertahankan sikap profesional tanpa mengganggu keharmonisan hubungannya dengan personil lainnya di sekolah itu dan dengan siswa.
3.      Merupakan tanggung jawab petugas bimbingan profesional untuk memahami perannya sebagai petugas bimbingan profesional dan menerjemahkannya ke dalam kegiatan nyata.
4.      Petugas bimbingan sekolah akan dapat efektif apabila ia memahami tanggung jawabnya kepada semua siswa, baik yang gagal, yang menimbulkan gangguan, yang berkemungkinan putus sekolah, yang mengalami kesulitan dalam belajar, yang mengalami masalah emosional, yang istimewa (gifted), yang berpotensi rata-rata, yang pemalu dan yang menarik diri dari khalayak ramai maupun yang bersikap menarik perhatian atau yang mengambil muka pada petugas bimbingan dan personil lainnya.
5.      Petugas bimbingan harus memahami dan mengembangkan kompetensi untuk membantu siswa yang mengalami masalah dengan kadar yang cukup serius dan yang menderita gangguan emosional melalui berbagai kegiatan dan program di sekolah dan dalam bentuk layanan lainnya.
Dari keseluruhan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah, baik ditinjau dari tanggung jawab maupun ruang lingkup garapan jauh lebih kompleks dari pada masa-masa sebelumnya. Kompleksitas dan keberagaman tugas tersebut membutuhkan petugas bimbingan profesional yang dipersiapkan secara matang melalui pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar